Langsung ke konten utama

Pengerahan 100 Kapal Perang Cina di Laut Kuning: Sinyal Agresi Menuju Invasi Taiwan 2027?

Oleh Dennis Ramadhan Awal bulan Desember menandai akhir dari tahun 2025. Namun, situasi di Asia Pasifik, khususnya di Asia bagian timur, masih sangat panas. Baru-baru ini dikabarkan bahwa Cina mengerahkan sebanyak kurang lebih 100 kapal perang ke wilayah Laut Kuning, tepatnya di area Laut Cina Timur. Tidak diketahui secara pasti apa motivasi Cina melakukan hal tersebut, namun pengamat berspekulasi bahwa Cina ingin menunjukkan kepada dunia kekuatan maritimnya. Angkatan Laut Cina (PLAN) diketahui memiliki sekitar 370 aset militer laut, meliputi kapal perang, kapal selam, dan aset maritim lainnya. Jumlah aset maritim ini melampaui yang dimiliki oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dari segi kuantitas kapal. Pengerahan sebanyak 100 kapal perang Cina ke Laut Kuning ini cukup mengkhawatirkan negara-negara di kawasan regional. Tokyo, Taipei, dan Washington terus memonitor keadaan di Laut Kuning serta meningkatkan kesiapsiagaan terkait ...

28-Poin Proposal Perdamaian Cenderung Lebih Menguntungkan Rusia

Oleh Dennis Ramadhan

Sudah tiga tahun penuh sejak Rusia melancarkan invasi skala besar ke Ukraina. Darah terus mengalir, kota-kota menjadi reruntuhan, dan jutaan nyawa melayang. Semua orang—tanpa terkecuali—ingin perang ini berakhir secepat mungkin. Bahkan Winston Churchill pernah berkata, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang. Namun, berunding untuk maksud perdamaian bukan berarti menyerah dan tunduk pada tekanan pihak lawan.

Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim bahwa dia bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina dalam waktu 24 jam saja. Kini, setelah berbulan-bulan pertemuan, termasuk pertemuan Trump-Putin di Alaska pada Agustus lalu, Donald Trump menyadari: menyelesaikan konflik ini jauh lebih sulit daripada sekadar omong kosong di panggung kampanye.

Baru-baru ini, Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian yang disebut “Rencana Damai 28 Poin”. Pembuatan proposal perdamaian ini terinspirasi dari proposal perdamaian Israel dan Hamas. Sayangnya, banyak pengamat politik yang menyatakan bahwa proposal perdamaian ini bukanlah proposal perdamaian yang adil—justru sebaliknya: sangat condong menguntungkan Rusia.

Beberapa poin penting yang dinilai sejalan dengan kepentingan Rusia diantaranya:

- Angkatan Bersenjata Ukraina dibatasi hanya 600.000 personel (padahal saat ini hampir 1 juta orang dimobilisasi).

- Crimea, Donetsk, dan Luhansk akan diakui secara de facto sebagai wilayah Rusia—termasuk oleh Amerika Serikat sendiri.

Dua poin itu saja sudah cukup membuktikan bahwa pelaku agresi dalam hal ini Rusia diuntungkan oleh isi proposal perdamaian tersebut.

Kita semua benci perang. Kita semua ingin pertumpahan darah ini berakhir. Tapi perdamaian tidak boleh dicapai dengan harga berapa pun—terutama jika harus mengorbankan kepentingan pihak yang diserang dalam hal ini Ukraina.

Presiden Trump terus menekan Ukraina untuk menandatangani proposal perdamaian itu segera dengan ancaman jika Ukraina tidak tunduk, maka semua bantuan militer dan ekonomi akan dihentikan. Sementara hampir tidak ada upaya ancaman yang dilakukan Amerika kepada Rusia. Malah, berkali-kali ia menyalahkan Ukraina dan Eropa sebagai pihak yang “memulai dan memperpanjang” perang, dan mengambil langkah-langkah yang selaras dengan kepentingan Moskow.

Jika Amerika Serikat terus memaksa Ukraina menyerahkan wilayahnya dan tunduk pada rezim otoriter, maka jangan kaget kalau dalam waktu dekat China akan menginvasi Taiwan. Perang Dunia II pecah justru karena respons lemah Sekutu terhadap agresi Nazi. Sekutu memberikan Hitler semua yang dia minta dengan harapan dapat mencegah perang—malah yang terjadi justru sebaliknya, Perang Dunia II pun terjadi.

Appeasement atau kebijakan memuaskan lawan demi menghindari perang tidak akan pernah berhasil diterapkan. Kelemahan hanya akan mengundang agresi lebih buruk dari sebelumnya. Tapi entah mengapa, kita seolah tak pernah belajar dari sejarah.

Jika rencana 28 poin ini akhirnya ditandatangani—dan Ukraina kemungkinan besar akan dipaksa menandatanganinya karena takut kehilangan bantuan militer serta finansial Amerika—maka kekalahan front demokrasi sudah di depan mata. Sinyal positif akan terkirim ke setiap pemimpin otoriter di dunia bahwa invasi militer itu sah dilakukan dan akan dihadiahi wilayah yang ingin dicaplok.

Iran akan semakin leluasa melanjutkan teror terhadap Israel dan mengacaukan perdamaian di Timur Tengah. Korea Utara akan semakin berani mengancam Korea Selatan. China akan menyerang Taiwan dan menguasai seluruh wilayah Laut China Selatan.

Jika logika Trump terhadap Ukraina diterapkan di belahan dunia lain, kita bisa membayangkan skenario mengerikan seperti ini:

- Iran diberi lampu hijau untuk mengembangkan senjata nuklir dan sebagai gantinya, Amerika memberikan jaminan keamanan palsu bagi Israel dan negara Teluk—sambil memaksa negara-negara itu memangkas angkatan bersenjatanya.

- Korea Selatan dipaksa tunduk kepada rezim Kim Jong Un.

- Taiwan diminta menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Beijing dan memaksa Taiwan mengurangi jumlah personel militernya persis seperti yang dialami Ukraina sekarang.

Sejarah sudah membuktikan berkali-kali bahwa memuaskan para pemimpin diktator tidak akan pernah membawa perdamaian abadi. Neville Chamberlain dan Perjanjian Munich 1938 adalah bukti yang terang benderang betapa naifnya keyakinan bahwa menuruti keinginan tuntutan diktator akan membawa perdamaian sejati. Yang terjadi justru sebaliknya: diktator merasa tak tersentuh dan tidak akan mendapat konsekuensi apapun atas tindakannya.

Amerika dan Eropa harus sadar bahwa pelanggaran kedaulatan dan pendudukan ilegal wilayah negara lain merupakan tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.

Perdamaian yang sejati dan langgeng hanya bisa lahir dari kekuatan—dengan memberikan dukungan militer, ekonomi, dan politik penuh kepada korban agresi (Ukraina) sampai Putin menyadari bahwa invasinya ke Ukraina terlalu mahal dan berisiko gagal total jika terus dilanjutkan. Sanksi ekonomi harus tetap diberlakukan sampai mesin perang Rusia benar-benar terhenti.

Keputusan sekarang ada di tangan pemimpin demokrasi dunia: Amerika Serikat. Jika Presiden Trump tetap memaksakan kebijakan “America First” di atas keamanan sekutu dan prinsip demokrasi, maka Perang Dunia III bukan lagi skenario fiksi—melainkan sebuah kenyataan.

Pilihan ada di tangan kita. Waktu terus berjalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Dingin 2.0 : Menakar Kekuatan Militer Rusia vs NATO

Oleh Dennis Ramadhan Presiden Rusia Vladimir Putin akhir-akhir ini mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan: Rusia siap berperang dan mengalahkan Eropa! Pernyataan ini disampaikannya di tengah proses negosiasi perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina yang sedang berlangsung. Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Perang ini menyebabkan ketegangan antara Rusia dan NATO menjadi semakin besar dan dikhawatirkan akan memicu konfrontasi langsung antara keduanya. Meskipun NATO tidak ikut terlibat secara langsung dalam perang Rusia-Ukraina, NATO sangat aktif mengirimkan bantuan militer ke Ukraina. Pernyataan Presiden Putin ini bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun belakangan, Rusia selalu melakukan latihan militer Zapad. Tahun 2025 ini, Rusia dan Belarus melakukan latihan militer gabungan Zapad-2025. Latihan Zapad-2025 melibatkan lebih dari 100.000 personel militer dari kedua negara....

Perang Dunia 3 Sudah di Depan Mata : Lebih Dekat Daripada Krisis Kuba 1962

Oleh Dennis Ramadhan Tidak, artikel ini tidak bermaksud menakut-nakuti Anda. Tidak juga bermaksud memberikan prediksi yang suram tentang masa depan dunia. Kita sangat membenci perang dan pertumpahan darah. Tulisan ini hanya bermaksud memberikan peringatan tentang betapa dunia yang kita tempati saat ini benar-benar berada dalam situasi “krisis” dan kita harus menyadarinya. Terakhir kali situasi tegang yang membuat masyarakat dunia khawatir akan terjadinya Perang Dunia 3 adalah saat Perang Dingin. Periode tahun pasca-Perang Dunia 2 (1945) hingga runtuhnya Uni Soviet (1991) merupakan salah satu periode yang mencekam dan mengkhawatirkan banyak pihak. Uni Soviet dan Amerika membelah dunia menjadi dua kubu: kubu demokrasi dan kubu komunis. Situasi bipolar ini menyebabkan konfrontasi melalui perang proksi yang tak berkesudahan. Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Afghanistan, dan masih banyak lagi perang proksi yang terjadi di masa Perang Din...