Oleh Dennis Ramadhan
Sudah tiga tahun penuh sejak Rusia melancarkan invasi skala besar ke Ukraina. Darah terus mengalir, kota-kota menjadi reruntuhan, dan jutaan nyawa melayang. Semua orang—tanpa terkecuali—ingin perang ini berakhir secepat mungkin. Bahkan Winston Churchill pernah berkata, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang. Namun, berunding untuk maksud perdamaian bukan berarti menyerah dan tunduk pada tekanan pihak lawan.
Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim bahwa dia bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina dalam waktu 24 jam saja. Kini, setelah berbulan-bulan pertemuan, termasuk pertemuan Trump-Putin di Alaska pada Agustus lalu, Donald Trump menyadari: menyelesaikan konflik ini jauh lebih sulit daripada sekadar omong kosong di panggung kampanye.
Baru-baru ini, Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian yang disebut “Rencana Damai 28 Poin”. Pembuatan proposal perdamaian ini terinspirasi dari proposal perdamaian Israel dan Hamas. Sayangnya, banyak pengamat politik yang menyatakan bahwa proposal perdamaian ini bukanlah proposal perdamaian yang adil—justru sebaliknya: sangat condong menguntungkan Rusia.
Beberapa poin penting yang dinilai sejalan dengan kepentingan Rusia diantaranya:
- Angkatan Bersenjata Ukraina dibatasi hanya 600.000 personel (padahal saat ini hampir 1 juta orang dimobilisasi).
- Crimea, Donetsk, dan Luhansk akan diakui secara de facto sebagai wilayah Rusia—termasuk oleh Amerika Serikat sendiri.
Dua poin itu saja sudah cukup membuktikan bahwa pelaku agresi dalam hal ini Rusia diuntungkan oleh isi proposal perdamaian tersebut.
Kita semua benci perang. Kita semua ingin pertumpahan darah ini berakhir. Tapi perdamaian tidak boleh dicapai dengan harga berapa pun—terutama jika harus mengorbankan kepentingan pihak yang diserang dalam hal ini Ukraina.
Presiden Trump terus menekan Ukraina untuk menandatangani proposal perdamaian itu segera dengan ancaman jika Ukraina tidak tunduk, maka semua bantuan militer dan ekonomi akan dihentikan. Sementara hampir tidak ada upaya ancaman yang dilakukan Amerika kepada Rusia. Malah, berkali-kali ia menyalahkan Ukraina dan Eropa sebagai pihak yang “memulai dan memperpanjang” perang, dan mengambil langkah-langkah yang selaras dengan kepentingan Moskow.
Jika Amerika Serikat terus memaksa Ukraina menyerahkan wilayahnya dan tunduk pada rezim otoriter, maka jangan kaget kalau dalam waktu dekat China akan menginvasi Taiwan. Perang Dunia II pecah justru karena respons lemah Sekutu terhadap agresi Nazi. Sekutu memberikan Hitler semua yang dia minta dengan harapan dapat mencegah perang—malah yang terjadi justru sebaliknya, Perang Dunia II pun terjadi.
Appeasement atau kebijakan memuaskan lawan demi menghindari perang tidak akan pernah berhasil diterapkan. Kelemahan hanya akan mengundang agresi lebih buruk dari sebelumnya. Tapi entah mengapa, kita seolah tak pernah belajar dari sejarah.
Jika rencana 28 poin ini akhirnya ditandatangani—dan Ukraina kemungkinan besar akan dipaksa menandatanganinya karena takut kehilangan bantuan militer serta finansial Amerika—maka kekalahan front demokrasi sudah di depan mata. Sinyal positif akan terkirim ke setiap pemimpin otoriter di dunia bahwa invasi militer itu sah dilakukan dan akan dihadiahi wilayah yang ingin dicaplok.
Iran akan semakin leluasa melanjutkan teror terhadap Israel dan mengacaukan perdamaian di Timur Tengah. Korea Utara akan semakin berani mengancam Korea Selatan. China akan menyerang Taiwan dan menguasai seluruh wilayah Laut China Selatan.
Jika logika Trump terhadap Ukraina diterapkan di belahan dunia lain, kita bisa membayangkan skenario mengerikan seperti ini:
- Iran diberi lampu hijau untuk mengembangkan senjata nuklir dan sebagai gantinya, Amerika memberikan jaminan keamanan palsu bagi Israel dan negara Teluk—sambil memaksa negara-negara itu memangkas angkatan bersenjatanya.
- Korea Selatan dipaksa tunduk kepada rezim Kim Jong Un.
- Taiwan diminta menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Beijing dan memaksa Taiwan mengurangi jumlah personel militernya persis seperti yang dialami Ukraina sekarang.
Sejarah sudah membuktikan berkali-kali bahwa memuaskan para pemimpin diktator tidak akan pernah membawa perdamaian abadi. Neville Chamberlain dan Perjanjian Munich 1938 adalah bukti yang terang benderang betapa naifnya keyakinan bahwa menuruti keinginan tuntutan diktator akan membawa perdamaian sejati. Yang terjadi justru sebaliknya: diktator merasa tak tersentuh dan tidak akan mendapat konsekuensi apapun atas tindakannya.
Amerika dan Eropa harus sadar bahwa pelanggaran kedaulatan dan pendudukan ilegal wilayah negara lain merupakan tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Perdamaian yang sejati dan langgeng hanya bisa lahir dari kekuatan—dengan memberikan dukungan militer, ekonomi, dan politik penuh kepada korban agresi (Ukraina) sampai Putin menyadari bahwa invasinya ke Ukraina terlalu mahal dan berisiko gagal total jika terus dilanjutkan. Sanksi ekonomi harus tetap diberlakukan sampai mesin perang Rusia benar-benar terhenti.
Keputusan sekarang ada di tangan pemimpin demokrasi dunia: Amerika Serikat. Jika Presiden Trump tetap memaksakan kebijakan “America First” di atas keamanan sekutu dan prinsip demokrasi, maka Perang Dunia III bukan lagi skenario fiksi—melainkan sebuah kenyataan.
Pilihan ada di tangan kita. Waktu terus berjalan.

Komentar
Posting Komentar