-Oleh Dennis Ramadhan
Di belahan selatan Benua Amerika, keadaan sedang tidak baik-baik saja. Di kota Caracas yang cerah, Nicolás Maduro hanya bisa termenung memikirkan masa depan kepemimpinannya. Ia sudah berkuasa memimpin Venezuela sejak tahun 2013 hingga sekarang. Namun, Maduro semakin khawatir akan posisi politiknya yang kian lemah seiring berjalannya waktu. Di mata pemimpin dunia demokratis, Maduro dianggap sebagai pemimpin otoriter dan tidak memiliki legitimasi sebagai presiden yang sah.
Maduro juga dituduh melakukan kecurangan dalam proses pemilu yang dinilai tidak transparan, tidak adil, dan penuh manipulasi. Proses pemilu yang tidak adil itu menyebabkan merosotnya semangat demokrasi di negara tersebut. Indeks demokrasi dunia mengklasifikasikan Venezuela sebagai rezim otoriter. Rezim Maduro juga diketahui melakukan berbagai pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM, seperti penahanan sewenang-wenang terhadap demonstran dan penyiksaan terhadap lawan politik.
Fakta-fakta di atas didukung oleh laporan Misi Pencari Fakta Independen PBB, yang menyatakan bahwa Maduro terlibat dalam pelanggaran HAM yang sangat serius, bahkan setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pertama, rezimnya melakukan eksekusi ilegal tanpa pengadilan terhadap ribuan orang di pemukiman miskin dengan dalih operasi anti-kejahatan. Kedua, melakukan penahanan sewenang-wenang dan penghilangan paksa terhadap lawan politik serta aktivis. Ketiga, melakukan penyiksaan sistematis terhadap tahanan politik.
Dari segi ekonomi, masyarakat Venezuela telah mengalami sulitnya menjalani kehidupan akibat hiperinflasi yang tak terkendali. Harga bahan pangan melonjak drastis, ditambah tingginya angka kriminalitas, sehingga menciptakan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Kegagalan rezim Maduro memulihkan perekonomian berdampak sangat buruk bagi jutaan rakyat Venezuela. Hingga kini Venezuela masih menjadi salah satu negara dengan ekonomi terburuk di dunia. Hiperinflasi, pengangguran yang sangat tinggi, dan kriminalitas yang merajalela membuat rakyat Venezuela hidup dalam nestapa yang seolah tak berkesudahan.
Dari sudut pandang kriminalitas, Departemen Kehakiman Amerika Serikat secara resmi mendakwa Maduro dan sejumlah pejabat tinggi lainnya sebagai pimpinan Kartel de los Soles (Kartel Matahari). Kartel ini juga dituduh bekerja sama dengan kelompok teroris FARC untuk membanjiri Amerika Serikat dengan kokain. Saat ini Maduro sedang diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berbagai “dosa” yang dituduhkan Barat kepada Maduro bukanlah kebohongan belaka. Justru rakyat Venezuela telah menanggung akibatnya selama bertahun-tahun. Presiden Donald Trump memerintahkan Menteri Pertahanan untuk mengerahkan aset militer besar-besaran ke sekitar Venezuela guna menekan Maduro agar mundur dari jabatannya.
Pengerahan ini merupakan yang terbesar sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Sekitar 15.000 personel dikerahkan dengan aset-aset berikut:
-Kapal induk terbesar USS Gerald R. Ford dengan 78 pesawat tempur F/A-18 Super Hornet, F-35C, serta lebih dari 200 rudal Tomahawk. Didukung 7 kapal frigate dan perusak di Laut Karibia utara Venezuela.
-Kapal serbu amfibi USS Iwo Jima yang siap mendaratkan lebih dari 4.000 marinir Korps Marinir AS.
-Kapal selam bertenaga nuklir dan kapal penjelajah rudal juga disiagakan.
-Di Puerto Rico: empat skuadron F/A-18 Super Hornet dan F-35, pesawat pengintai P-8 Poseidon, serta pembom strategis B-52 dan B-1.
Total aset yang dikerahkan mencapai sekitar 10% kekuatan Angkatan Laut AS.
Baru-baru ini Presiden Trump menegaskan agar ruang udara Venezuela “dikosongkan”. Belum jelas apakah itu sinyal akan dimulainya operasi militer atau hanya ancaman psikologis.
Menanggapi itu, Venezuela memobilisasi sekitar 200.000 tentara reguler dan milisi, serta mengerahkan peluncur roket ke posisi strategis untuk mengancam kapal-kapal perang AS.
Banyak pengamat menilai Amerika ingin menyerang karena minyak Venezuela. Namun itu tidak sepenuhnya benar. Meski kaya minyak, rakyat Venezuela sama sekali tidak menikmati kekayaan itu; mereka tetap miskin dan menderita karena ketidakmampuan rezim memberikan kesejahteraan dan keadilan. Amerika dan sekutu-sekutunya ingin membawa perubahan bagi rakyat Venezuela dengan hadirnya pemimpin baru—meski tak menutup kemungkinan ada kepentingan ekonomi, namun tujuan utamanya adalah mengakhiri penderitaan rakyat.
Sebagai pemimpin dunia demokratis, Amerika memang seharusnya mengirim sinyal keras kepada semua rezim otoriter. Ancaman terhadap Maduro bukan semata agresi, melainkan peringatan: jangan lakukan kejahatan dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat sendiri.
Dunia kini menanti langkah apa yang akan diambil Amerika. Rusia, Cina, dan Iran sedang mengamati apakah Trump benar-benar akan menerapkan doktrin “peace through strength”. Ini kesempatan bagi Amerika untuk menunjukkan bahwa ia masih mampu menjaga stabilitas geopolitik dunia. Kita boleh membenci dominasi Amerika sebagai “polisi dunia”, tetapi membiarkan rezim-rezim otoriter menggantikannya akan jauh lebih berbahaya—bisa memicu kekacauan yang berujung Perang Dunia III.
Semua keputusan kini ada di tangan pemimpin terkuat dunia saat ini. Dunia terus menunggu. Waktu terus berjalan, Presiden Trump.

Komentar
Posting Komentar