Langsung ke konten utama

Pengerahan 100 Kapal Perang Cina di Laut Kuning: Sinyal Agresi Menuju Invasi Taiwan 2027?

Oleh Dennis Ramadhan Awal bulan Desember menandai akhir dari tahun 2025. Namun, situasi di Asia Pasifik, khususnya di Asia bagian timur, masih sangat panas. Baru-baru ini dikabarkan bahwa Cina mengerahkan sebanyak kurang lebih 100 kapal perang ke wilayah Laut Kuning, tepatnya di area Laut Cina Timur. Tidak diketahui secara pasti apa motivasi Cina melakukan hal tersebut, namun pengamat berspekulasi bahwa Cina ingin menunjukkan kepada dunia kekuatan maritimnya. Angkatan Laut Cina (PLAN) diketahui memiliki sekitar 370 aset militer laut, meliputi kapal perang, kapal selam, dan aset maritim lainnya. Jumlah aset maritim ini melampaui yang dimiliki oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dari segi kuantitas kapal. Pengerahan sebanyak 100 kapal perang Cina ke Laut Kuning ini cukup mengkhawatirkan negara-negara di kawasan regional. Tokyo, Taipei, dan Washington terus memonitor keadaan di Laut Kuning serta meningkatkan kesiapsiagaan terkait ...

Eropa Tidak Lagi Bisa Mengandalkan Amerika

Oleh Dennis Ramadhan

Delapan puluh tahun yang lalu, Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan Sekutu. Kemenangan ini tak lepas dari kontribusi Amerika melalui Lend-Lease Act yang mengirimkan pasokan penting ke negara-negara sekutu, terutama Inggris dan Uni Soviet. Amerika pada masa itu menjadi pahlawan penting bagi Sekutu sehingga berhasil mengalahkan Blok Poros. Tanpa Amerika, suplai persenjataan di Eropa pasti terhambat karena Jerman terus-menerus membom pabrik-pabrik produksi senjata. Sementara itu, wilayah Amerika yang jauh dari Eropa memungkinkannya memproduksi senjata tanpa khawatir dibom Jerman.

Pada masa Perang Dingin, Amerika juga berperan besar mempertahankan stabilitas demokrasi di negara-negara Eropa serta menjauhkan pengaruh komunisme yang sangat kuat saat itu. Dalam bidang ekonomi, Amerika membantu merekonstruksi Eropa melalui Marshall Plan tahun 1948. Ketika menghadapi perang proksi dengan Uni Soviet, Amerika mengirimkan bantuan militer ke negara-negara garis depan anti-komunis seperti Korea Selatan, Vietnam Selatan, Taiwan, dan Afghanistan. Semua itu dilakukan atas nama mempertahankan demokrasi dan mencegah penyebaran komunisme di dunia.

Kini semua itu tinggal cerita. Setelah Uni Soviet bubar pada 1991, Amerika merasa tidak lagi memiliki musuh sejati. Kebijakan luar negeri Amerika hingga kini cenderung isolasionis dan proteksionis. Hal ini terbukti melalui kebijakan “America First” yang diterapkan Presiden Donald Trump. Lewat kebijakan itu, Trump bahkan mendeklarasikan perang dagang ke seluruh dunia, termasuk sekutu-sekutunya di Eropa. Alih-alih mengirimkan bantuan ekonomi, Trump justru memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari Eropa.

Amerika juga menarik pasukannya secara sepihak dari Afghanistan, memaksa pemimpin dan pasukan demokratis Afghanistan berjuang sendirian melawan Taliban yang jauh lebih kuat. Akibat ditinggalkan Amerika, kekuatan pro-demokrasi kalah, dan Taliban berhasil menguasai kembali negara itu. Pada perang Rusia-Ukraina, Amerika kembali menunjukkan ketidaksiapannya mendukung sekutu. Ukraina kini justru dipaksa menyerahkan wilayahnya kepada Rusia. Amerika bahkan mengancam akan menghentikan bantuan militer dan ekonomi jika Ukraina tidak mau menandatangani perjanjian damai yang jelas-jelas sangat menguntungkan Rusia.

Jika perjanjian itu benar-benar ditandatangani, Eropa akan berada dalam situasi sulit. Perjanjian damai tersebut akan memberi sinyal hijau bagi Rusia untuk meningkatkan agresi militernya ke negara-negara Eropa. Ironisnya, Amerika justru berencana mengurangi jumlah pasukannya di Eropa di saat benua ini sedang berada dalam fase kritis: Rusia melancarkan perang hybrid melalui sabotase, infiltrasi drone, dan serangan terhadap fasilitas militer serta publik di berbagai negara Eropa.

Melihat kebijakan luar negeri Amerika yang semakin isolasionis, sudah sewajarnya Eropa mulai memikirkan cara menjaga keamanan dan stabilitasnya sendiri tanpa bergantung pada Amerika. Beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan adalah:

1. Meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan dan mendukung produksi persenjataan militer secara mandiri. Saat ini Eropa masih sangat bergantung pada impor senjata dari Amerika. Dalam situasi krisis, Amerika bisa saja menarik diri karena “America First” selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri.

2. Mengintegrasikan kekuatan militer secara penuh di antara negara-negara anggota Uni Eropa dan NATO yang berbasis di Eropa, sehingga tercipta strategi serta doktrin militer yang jelas dan tidak lagi bergantung pada komando Amerika.

3. Mengembangkan kapabilitas militer mandiri, terutama di bidang intelijen, pengawasan, dan pengintaian (ISR), karena Amerika tidak selamanya mau atau mampu membantu ketika perang tidak menguntungkan kepentingannya.

4. Memberikan bantuan masif kepada Ukraina, baik senjata maupun ekonomi, karena Ukraina adalah garis depan pertahanan Eropa. Mendukung industri pertahanan Ukraina secara besar-besaran adalah cara paling efektif mencegah perang langsung antara Rusia dan NATO.

5. Mengembangkan teknologi strategis sendiri (AI, semikonduktor, satelit, siber) tanpa terus-menerus bergantung pada perusahaan Amerika.

6. Menyadari bahwa tidak ada jaminan Amerika akan menjalankan Artikel 5 NATO dengan sungguh-sungguh. Pengurangan pasukan AS di Eropa dan pergeseran fokus ke Asia-Pasifik telah melemahkan kredibilitas komitmen Amerika.

Eropa dan Amerika tetap bisa bersahabat dan bahkan bersekutu, tetapi Eropa harus berpikir pragmatis: Amerika bukan lagi sekutu yang bisa diandalkan sepenuhnya. Sejarah membuktikan Amerika hanya terlibat perang ketika kepentingannya langsung terancam—Perang Dunia I karena kapal dagangnya ditenggelamkan Jerman, Perang Dunia II karena Pearl Harbor diserang Jepang. Bayangkan jika besok pagi Rusia menginvasi negara Baltik atau Polandia tanpa menyentuh satu pun kepentingan Amerika secara langsung—apakah Amerika masih akan datang membantu?

Pada akhirnya, stabilitas dan keamanan Eropa berada di tangan Eropa sendiri. Waktu terus berjalan cepat. Beruntungnya, angin lembut masih berhembus damai di Warsawa dan Vilnius pada malam hari yang mulai terasa semakin suram.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Dingin 2.0 : Menakar Kekuatan Militer Rusia vs NATO

Oleh Dennis Ramadhan Presiden Rusia Vladimir Putin akhir-akhir ini mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan: Rusia siap berperang dan mengalahkan Eropa! Pernyataan ini disampaikannya di tengah proses negosiasi perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina yang sedang berlangsung. Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Perang ini menyebabkan ketegangan antara Rusia dan NATO menjadi semakin besar dan dikhawatirkan akan memicu konfrontasi langsung antara keduanya. Meskipun NATO tidak ikut terlibat secara langsung dalam perang Rusia-Ukraina, NATO sangat aktif mengirimkan bantuan militer ke Ukraina. Pernyataan Presiden Putin ini bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun belakangan, Rusia selalu melakukan latihan militer Zapad. Tahun 2025 ini, Rusia dan Belarus melakukan latihan militer gabungan Zapad-2025. Latihan Zapad-2025 melibatkan lebih dari 100.000 personel militer dari kedua negara....

28-Poin Proposal Perdamaian Cenderung Lebih Menguntungkan Rusia

Oleh Dennis Ramadhan Sudah tiga tahun penuh sejak Rusia melancarkan invasi skala besar ke Ukraina. Darah terus mengalir, kota-kota menjadi reruntuhan, dan jutaan nyawa melayang. Semua orang—tanpa terkecuali—ingin perang ini berakhir secepat mungkin. Bahkan Winston Churchill pernah berkata, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang. Namun, berunding untuk maksud perdamaian bukan berarti menyerah dan tunduk pada tekanan pihak lawan. Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim bahwa dia bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina dalam waktu 24 jam saja. Kini, setelah berbulan-bulan pertemuan, termasuk pertemuan Trump-Putin di Alaska pada Agustus lalu, Donald Trump menyadari: menyelesaikan konflik ini jauh lebih sulit daripada sekadar omong kosong di panggung kampanye. Baru-baru ini, Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian yang disebut “Rencana Damai 28 Poin”. Pembuatan proposal perdamaian ini terinspirasi d...

Presiden Trump, Ini Jaminan Keamanan Terbaik Untuk Ukraina

                                         Oleh Dennis Ramadhan Perang Rusia dan Ukraina telah memasuki fase kritis di mana kedua belah pihak masih saling menyerang satu sama lain namun tidak mampu mengubah peta pertempuran secara signifikan. Perang yang berkelanjutan tanpa ada kemenangan yang pasti tentu akan menghabiskan banyak sumber daya dari kedua belah pihak, serta korban yang semakin bertambah baik itu tentara yang tewas atau masyarakat umum. Perang yang sangat mengerikan ini sudah seharusnya berakhir dan Eropa bahkan dunia sudah jenuh dengan peperangan ini. Kita setidaknya setuju dengan Presiden Donald Trump yang mengatakan bahwa perang Rusia dan Ukraina seharusnya tidak pernah terjadi. Jika perang ini terus berlanjut maka akan dikhawatirkan akan meningkatkan eskalasi yang berujung pada perang antara Rusia dan NATO. Hal itu merupakan sk...