Oleh Dennis Ramadhan
Benua Amerika sedang tidak baik-baik saja. Akhir tahun 2025 menandai eskalasi militer di belahan selatan Benua Amerika. Amerika Serikat telah berulang kali melakukan serangan terhadap kapal-kapal yang diduga menyelundupkan obat-obatan terlarang (narkoba) ke sejumlah wilayah di Benua Amerika. Pada awal September 2025, Angkatan Laut Amerika Serikat telah menenggelamkan sebanyak 40 kapal di Laut Karibia. Sekitar 83 orang tewas dalam serangan terhadap kapal-kapal yang diduga membawa narkotika tersebut. Presiden Donald Trump mengonfirmasi bahwa pihaknya telah memberikan persetujuan kepada CIA untuk melakukan operasi rahasia di wilayah Venezuela. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan rezim Maduro dari kepemimpinan Venezuela.
Amerika Serikat telah mengerahkan aset militer terbesar dalam beberapa dekade terakhir ke wilayah Amerika Latin, meliputi: kapal induk USS Gerald R. Ford, pesawat bomber B-2, serta ribuan pasukan ke Kolombia dan Guyana. Aksi pengerahan aset militer ke wilayah Amerika Latin ini mengkhawatirkan banyak pihak, sebab eskalasi di wilayah ini akan berujung pada perang baru di kawasan regional Benua Amerika.
Situasi Geopolitik di Benua Amerika
Amerika Serikat diketahui telah berulang kali melakukan intervensi militer di kawasan Amerika Latin (Chili 1973 dan Panama 1989). Pemimpin ideologi kiri dari negara-negara Brazil, Meksiko, Bolivia, dan Kuba menentang aksi militer Amerika Serikat baru-baru ini sebagai bentuk imperialisme Amerika 2.0. Kolombia, selaku sekutu dekat Amerika Serikat di kawasan, berada dalam situasi sulit: masyarakat memprotes keberadaan tentara Amerika di Kolombia serta risiko serangan balasan dari Venezuela karena menyediakan fasilitas militer bagi tentara Amerika Serikat.
Rusia dan Cina, sebagai sekutu dekat Venezuela, sejauh ini tidak memberikan respons yang signifikan atas tindakan Amerika Serikat. Kedua negara hanya memberikan pernyataan tegas menentang aksi Amerika Serikat.
Dampak Ekonomi dan Energi
Venezuela merupakan negara yang kaya akan minyak bumi. Cadangan minyak Venezuela diketahui sebanyak 300 miliar barel, lebih banyak dari cadangan minyak Arab Saudi. Serangan Amerika Serikat ke kapal-kapal yang diduga membawa narkotika telah berdampak pada naiknya harga asuransi kelautan sebesar 40%. Pada awal Desember, harga minyak bumi telah naik menjadi 98 dolar per barel, tertinggi sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022. Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak bumi akan naik hingga 110-130 dolar per barel jika operasi militer Amerika Serikat menyebabkan hancurnya infrastruktur atau fasilitas minyak bumi Venezuela.
Konflik yang berkepanjangan akan menyebabkan hilangnya 1,5 juta barel minyak bumi per hari dari pasar global. Beberapa efek buruk lainnya adalah:
- Tekanan inflasi di Amerika Serikat. Harga bensin di Amerika telah mengalami kenaikan sebesar 18 sen per galon.
- Harga makanan meningkat di negara-negara berkembang. Venezuela merupakan eksportir urea dan amonia utama di dunia. Kerusakan atau hancurnya fasilitas produksi pupuk di Venezuela akan meningkatkan harga pupuk global sebesar 15-25%.
- Saham raksasa energi dunia seperti Chevron dan ExxonMobil mengalami kenaikan sebesar 6-8% dalam minggu ini usai serangan Amerika Serikat terhadap kapal-kapal yang diduga membawa narkotika tersebut.
Krisis Kemanusiaan di Venezuela
Berdasarkan data PBB, sebanyak 7,7 juta orang telah meninggalkan Venezuela dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat dalam 18 bulan ke depan. Kolombia telah menampung pengungsi dari Venezuela sebanyak 2,8 juta orang. Saat ini, Kolombia dan Peru telah menutup wilayah perbatasan dengan alasan keamanan. Kondisi di dalam Venezuela sendiri sudah sangat memprihatinkan. Pemadaman listrik, kelangkaan BBM, dan rasa khawatir akan serangan dari Amerika Serikat memicu panic buying dari masyarakat Venezuela. Duta Besar Amerika Serikat telah mengevakuasi sebagian anggota non-esensial dari Venezuela.
Skenario Eskalasi Militer di Venezuela
Dari segi alutsista, Venezuela sama sekali tidak memiliki persenjataan yang modern dan berkualitas. Kebanyakan peralatan militer Venezuela menggunakan teknologi bekas peninggalan Uni Soviet. Venezuela memiliki tank tempur utama (MBT) T-72 sebanyak kurang dari 100 unit, AMX-30, BMP-3 dengan jumlah total kendaraan tempur sebanyak kurang lebih 500-700 unit.
Untuk peluncur roket, Venezuela memiliki BM-21 Grad, BM-30 Smerch, dan artileri 2S19 Msta-S dengan total jumlah aset keseluruhan sekitar 300 unit.
Beralih ke udara, Venezuela memiliki sekitar 100 unit pesawat tempur. Namun, hanya 20-30 unit saja yang mampu beroperasi karena kurangnya suku cadang. Venezuela memiliki jet tempur jenis F-16, Su-30MK2, dan Mirage 50/2000.
Semua peralatan militer yang dimiliki Venezuela sangat minim dan tidak dapat disandingkan dengan Amerika Serikat. Secara kualitas maupun kuantitas, Amerika Serikat jauh lebih unggul. Meskipun begitu, Amerika Serikat tetap harus mewaspadai serangan asimetris dari militer yang lebih inferior, yang berpotensi merepotkan militer Amerika Serikat.
Sejauh ini, belum ada perintah dari Presiden Donald Trump untuk melakukan invasi ke Venezuela. Namun, beberapa hari ke depan situasi akan semakin sulit. Venezuela sudah berada dalam situasi yang genting, baik dalam hal ekonomi, politik, maupun militer. Serangan Amerika Serikat ke Venezuela juga akan memperbesar potensi eskalasi militer yang dikhawatirkan akan menyeret sekutu Venezuela, yaitu Rusia dan Cina.
Di tengah situasi politik yang semakin panas, perang antara Amerika Serikat dan Venezuela akan menambah daftar panjang perang yang tak berkesudahan bagi Amerika Serikat. Warga Amerika sudah bosan dengan perang. Namun, jika tujuan Trump ingin menunjukkan “peace through strength”-nya kepada rezim Rusia, Cina, dan Iran, maka langkah itu merupakan tindakan yang efektif. Sebab Venezuela tidak lebih dari sekadar negara “klien” bagi Cina, Rusia, dan Iran.
Jika Rusia tidak segera menghentikan perang dengan Ukraina, Cina tidak berhenti melakukan destabilisasi di kawasan Asia-Pasifik, dan Iran tidak berhenti melakukan terorisme di kawasan Timur Tengah, maka Venezuela akan menjadi tumbal bagi semua tindakan rezim otoriter tersebut. Amerika Serikat harus segera memberikan pesan kepada dunia: demokrasi akan tetap bertahan di tengah ancaman rezim revisionis di dunia.
Kota Caracas masih cukup hangat dan tenang. Jika kondisi ini ingin tetap dipertahankan, ada baiknya rezim Maduro bersikap bijak dan tidak lagi melakukan kejahatan kemanusiaan dengan mengirimkan kriminal serta narkotika ke negara lain. Kita berharap bomber B-2 tetap terbang di atas Laut Karibia, bukan di atas Kota Caracas.

Komentar
Posting Komentar