Oleh Dennis Ramadhan
Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Ratusan ribu orang telah menjadi korban dari keganasan perang yang tak berkesudahan ini.
Presiden Donald Trump memang benar, perang ini seharusnya tidak pernah terjadi. Namun, akar penyebab dari perang ini tak lepas dari lemahnya respon Amerika dan Eropa terhadap agresi Rusia di masa lalu. Di tahun 2008, Rusia melakukan agresi militer terhadap Georgia, namun tidak ada respon yang diberikan. Kemudian di tahun 2014 ketika Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina, lagi-lagi Eropa dan Amerika tidak melakukan tindakan apapun selain memberikan sanksi lemah yang tidak berpengaruh apapun terhadap Rusia. Pola seperti ini terus dilakukan oleh sekutu beberapa tahun belakangan sehingga Rusia mencium bau kelemahan dan ketakutan dari Amerika dan Eropa.
Amerika dan Eropa mempunyai organisasi militer yang paling kuat di dunia yaitu NATO. NATO sebenarnya mampu menjadi instrumen militer yang dapat mencegah agresi Rusia ke negara-negara Eropa. Namun kenyataannya selama lebih dari satu dekade sejak Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina, militer NATO seolah impoten dan tidak mampu melakukan apapun. Sanksi-sanksi yang diberikan Amerika kepada Rusia di tahun 2014-2021 sama sekali tidak mampu mencegah Rusia melakukan agresi ke Ukraina. Justru yang terjadi malah sebaliknya, Rusia merasa memiliki kesempatan untuk menginvasi Ukraina dan melemahkan NATO. Ketika Perang Rusia dan Ukraina pecah di tahun 2022, barulah NATO seolah terbangun dari tidur panjangnya, tapi kita semua tahu bahwa semua itu sudah terlambat.
Ketika kota Kyiv dibombardir dan jutaan orang menjadi korban keganasan agresi Rusia. Amerika, Eropa dan NATO langsung mengirimkan bantuan militer ke Ukraina. Ini cukup ironi, selama beberapa tahun NATO seolah enggan mengirimkan persenjataan militer ke Ukraina, namun setelah Ukraina diserang oleh Rusia barulah NATO mengirimkan bantuan militer tersebut. Mengapa Sekutu tidak mengirimkan bantuan militer jauh-jauh hari sebelum agresi Rusia ke Ukraina? Bukankah dengan mengirimkan bantuan militer lebih awal ke Ukraina akan mencegah agresi Rusia ke Ukraina? Apakah alasan sekutu yang khawatir akan “eskalasi” mencegah mereka mengirimkan senjata ke Ukraina? Semua pertanyaan itu lebih baik anda tanyakan kepada Amerika dan Eropa karena selama ini mereka selalu takut untuk bertindak dan selalu khawatir akan eskalasi semu yang tidak masuk akal.
Karena sekutu khawatir akan eskalasi hasil akhirnya bisa ditebak: Rusia menginvasi Ukraina di tahun 2022. Persenjataan militer yang dikirimkan sekutu tidak lebih hanya bermanfaat bagi Ukraina untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya tanpa mampu untuk membebaskan wilayah yang telah diduduki oleh Rusia sebelumnya. Kini wilayah Ukraina yang diduduki oleh Rusia semakin bertambah. Zaporizhzhia, Kherson, Donetsk dan Luhansk menjadi wilayah yang secara resmi dicaplok oleh Rusia. Meski dunia internasional mengecam tindakan Rusia, namun hal itu tidak akan mampu mencegah Rusia untuk berhenti melakukan agresi militernya.
Di akhir Desember ini, peristiwa yang mengejutkan terjadi. Kali ini, Amerika memaksa Ukraina untuk menyerahkan wilayah Donetsk ke Rusia dengan alasan perdamaian. Untungnya kali ini Eropa dan NATO ada di pihak Ukraina. Eropa tidak khawatir lagi akan eskalasi semu yang diancamkan Rusia kepada mereka. Eropa bersikeras bahwa kedaulatan wilayah Ukraina tidak boleh diganggu gugat apalagi sampai menyerahkan sebagian wilayahnya ke Rusia. Meskipun Amerika berpihak kepada Rusia, hal ini tidak menggoyahkan semangat sekutu untuk tetap membela kedaulatan Ukraina.
NATO harus mempersiapkan diri untuk membela Ukraina bahkan berperang dengan Rusia tanpa bantuan Amerika. Kebijakan isolasionis Trump telah berdampak buruk bagi dunia, NATO dalam hal ini harus berbenah dan mengkaji ulang reliabilitas Amerika sebagai sekutu dekat Eropa. Banyak pengamat menilai bahwa meskipun tanpa Amerika, kekuatan militer konvensional NATO tetap jauh lebih kuat dari Rusia. Dari segi kuantitas dan kualitas, NATO tetap berpotensi mampu mengalahkan Rusia di medan perang.
Ketua Komite Militer NATO Admiral Giuseppe Dragone menyatakan bahwa aliansi NATO harus lebih agresif dalam mencegah agresi Rusia terhadap NATO. Bahkan pihaknya setuju jika NATO melakukan serangan pre-emptive terhadap Rusia sebagai bentuk aksi defensif. Pernyataan dari Admiral Giuseppe ini bukan tanpa sebab. Beberapa bulan belakangan ini Rusia melancarkan perang hybrid ke wilayah NATO. Rusia melakukan aksi sabotase dan mengirimkan drone pengintai ke sejumlah pangkalan militer negara NATO. Sejauh ini belum ada respon yang signifikan dari aliansi terkait aksi sabotase dari Rusia. Namun pernyataan dari Admiral NATO ini merupakan peringatan keras untuk Rusia.
Melakukan serangan pre-emptive ke wilayah Rusia bukanlah ide yang buruk, justru tindakan ini bertujuan mencegah agar Rusia tidak memperluas agresi militernya. Perang hybrid yang dilakukan Rusia terhadap NATO harus direspon dengan serangan pre-emptive untuk memberikan efek deterrence kepada Rusia. Jika Rusia tetap dibiarkan melancarkan agresi militernya tanpa ada respon dari NATO, maka terjadinya perang dunia III tinggal menunggu waktu. Oleh karenanya, NATO perlu melakukan serangan pre-emptive terbatas terhadap Rusia untuk mencegah agar perang tidak meluas. Pertanyaannya, apakah NATO mampu melakukan serangan pre-emptive terbatas ke Rusia meskipun tanpa Amerika? Mari kita analisis.
Tanpa kehadiran Amerika, NATO masih mampu melakukan serangan pre-emptive terbatas terhadap target-target militer di wilayah Rusia, serangan ini dilakukan NATO dengan tujuan mencegah agresi Rusia ke wilayah NATO. Jet tempur NATO dapat melakukan serangan presisi terhadap pangkalan drone Rusia di Kaliningrad dan Komando Cyber di St. Petersburg.
Jet tempur Rafale dan Typhoon dapat meluncurkan rudal Storm Shadow dari udara Polandia didukung sistem pertahanan udara Polandia. Rudal ini dapat menargetkan sejumlah pangkalan militer Rusia seperti pangkalan drone Rusia di Pskov atau Ostrov. Rusia kerap kali mengirimkan drone melalui kedua pangkalan militer tersebut sehingga menjadi target yang sah untuk dihancurkan. Kapal selam Inggris kelas Astute dengan torpedo Spearfish dapat digunakan untuk menghancurkan armada laut Rusia di Kaliningrad, atau bisa juga dengan cara meluncurkan rudal jelajah dari perairan Denmark melalui kapal perang Prancis atau Italia.
Target selanjutnya adalah pos pusat militer Rusia di Voronezh atau Belgorod. F-16 atau Gripen dapat menghancurkan pos militer tersebut dengan menggunakan bom GBU-39. Jika sekutu khawatir terbang di wilayah udara Rusia, maka rudal Taurus dapat diluncurkan dari wilayah udara Ukraina. Pusat logistik militer Rusia di Bryansk atau Kursk juga menjadi target penting yang dapat dihancurkan NATO. Jet Mirage 2000 dapat diandalkan untuk tugas tersebut.
Itulah beberapa target militer di wilayah Rusia yang dapat dihancurkan NATO dalam serangan pre-emptive terbatas. Semua target militer itu biasa digunakan Rusia sebagai front paling depan dalam mempersiapkan perang dengan NATO di masa mendatang. Dengan hancurnya berbagai pangkalan militer itu, diharapkan Rusia mengurungkan niatnya untuk melancarkan agresi terhadap Eropa. NATO mampu melakukan semua itu tanpa Amerika jika NATO berbenah diri dari sekarang. Waktu terus berjalan, Rusia bersiap untuk perang, Cina bersiap untuk perang, NATO bersiap untuk perang, Amerika tidak siap.

Komentar
Posting Komentar