Langsung ke konten utama

Pengerahan 100 Kapal Perang Cina di Laut Kuning: Sinyal Agresi Menuju Invasi Taiwan 2027?

Oleh Dennis Ramadhan Awal bulan Desember menandai akhir dari tahun 2025. Namun, situasi di Asia Pasifik, khususnya di Asia bagian timur, masih sangat panas. Baru-baru ini dikabarkan bahwa Cina mengerahkan sebanyak kurang lebih 100 kapal perang ke wilayah Laut Kuning, tepatnya di area Laut Cina Timur. Tidak diketahui secara pasti apa motivasi Cina melakukan hal tersebut, namun pengamat berspekulasi bahwa Cina ingin menunjukkan kepada dunia kekuatan maritimnya. Angkatan Laut Cina (PLAN) diketahui memiliki sekitar 370 aset militer laut, meliputi kapal perang, kapal selam, dan aset maritim lainnya. Jumlah aset maritim ini melampaui yang dimiliki oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dari segi kuantitas kapal. Pengerahan sebanyak 100 kapal perang Cina ke Laut Kuning ini cukup mengkhawatirkan negara-negara di kawasan regional. Tokyo, Taipei, dan Washington terus memonitor keadaan di Laut Kuning serta meningkatkan kesiapsiagaan terkait ...

Perang Dingin 2.0 : Menakar Kekuatan Militer Rusia vs NATO

Oleh Dennis Ramadhan

Presiden Rusia Vladimir Putin akhir-akhir ini mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan: Rusia siap berperang dan mengalahkan Eropa! Pernyataan ini disampaikannya di tengah proses negosiasi perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina yang sedang berlangsung. Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Perang ini menyebabkan ketegangan antara Rusia dan NATO menjadi semakin besar dan dikhawatirkan akan memicu konfrontasi langsung antara keduanya. Meskipun NATO tidak ikut terlibat secara langsung dalam perang Rusia-Ukraina, NATO sangat aktif mengirimkan bantuan militer ke Ukraina.

Pernyataan Presiden Putin ini bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun belakangan, Rusia selalu melakukan latihan militer Zapad. Tahun 2025 ini, Rusia dan Belarus melakukan latihan militer gabungan Zapad-2025. Latihan Zapad-2025 melibatkan lebih dari 100.000 personel militer dari kedua negara. Pada latihan militer ini, Rusia selalu mensimulasikan bagaimana kesiapan militer Rusia dalam menghadapi NATO.

Dalam perang konvensional, banyak pengamat menilai bahwa NATO jauh lebih superior dibandingkan Rusia. Peralatan atau alutsista militer milik NATO jauh lebih canggih dan modern. Intinya, secara kuantitas dan kualitas, NATO jauh lebih unggul. Namun, dari segi pengalaman tentu Rusia memiliki pengalaman tempur yang cukup mumpuni mengingat Rusia saat ini masih berperang melawan Ukraina.

Pertanyaannya, seberapa siapkah Rusia berperang melawan NATO? Tentu ada beberapa faktor yang harus dianalisis mengingat keduanya belum pernah terlibat konfrontasi langsung.

Pertama, dari segi anggaran pertahanan. NATO memiliki anggaran pertahanan sebesar $1,5 triliun dolar dibandingkan dengan Rusia yang anggaran pertahanannya hanya $74 miliar dolar. Dari segi anggaran pertahanan maka jelas NATO lebih besar, dan anggaran pertahanan yang lebih banyak akan memungkinkan NATO untuk mengembangkan persenjataan yang secara kuantitas dan kualitas lebih baik dari Rusia.

Kedua, NATO memiliki persenjataan yang lebih modern dan canggih. NATO memiliki tank tempur canggih kelas MBT seperti Leopard, Challenger 3, French Leclerc, dan M1 Abrams. Sementara itu, Rusia masih mengandalkan tank tempur T-90 dan peninggalan Uni Soviet. Tank tempur modern T-14 yang baru dikembangkan oleh Rusia belum diproduksi secara massal sehingga kualitasnya belum dapat dibuktikan. Dari segi artileri dan peralatan tempur darat lainnya, kualitas persenjataan NATO sudah battle-proven dan lebih baik dari yang dimiliki oleh Rusia. Hal ini juga berlaku bagi aset militer udara dan laut seperti jet tempur dan kapal perang di mana dari segi kuantitas dan kualitas NATO jauh lebih unggul.

Ketiga, kualitas teknologi alutsista militer sangat berpengaruh dalam pertempuran. Rusia dalam hal ini masih jauh ketinggalan dari NATO dalam hal kualitas teknologi persenjataan. Dalam hal intelijen, pengintaian, dan pengawasan, kita tidak bisa mengatakan bahwa Rusia lebih baik daripada NATO. Sebab beberapa kali aset militer strategis Rusia dengan mudah dihancurkan oleh Ukraina berkat bantuan informasi intelijen dari NATO. Teknologi persenjataan yang dimiliki Rusia masih mengandalkan teknologi era Soviet yang sudah ketinggalan zaman. Tank T-90 Rusia memang cukup baik, tetapi performanya tidak sebaik yang dibayangkan. Banyak tank T-90 yang menjadi korban rudal anti-tank Javelin milik Amerika. Performa tank Rusia lain seperti tank T-72 juga menjadi saksi keganasan dan superioritas tank M1 Abrams milik Amerika.

Dalam pertempuran udara, Rusia mengandalkan pesawat tempur peninggalan Soviet seperti Su-27, Su-30, MiG-29, dan untuk jet tempur yang paling modern ialah Su-35 dan Su-57. Sementara itu, jet tempur NATO jauh lebih canggih dalam hal teknologi seperti F-35, F-22, F-16, Dassault Rafale, Gripen, dan masih banyak lagi. Jet tempur NATO juga telah banyak mengalami pertempuran udara. Rusia sampai saat ini belum mampu meraih superioritas udara di wilayah Ukraina, justru banyak jet tempur Rusia yang berhasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Ukraina. Hal ini menunjukkan bahwa jet tempur Rusia masih jauh ketinggalan dalam hal teknologi aviasi.

Keempat, strategi dan doktrin militer NATO lebih kompleks. Tentara NATO dilatih dengan profesionalitas yang sangat tinggi. Semua komando NATO terintegrasi dengan peralatan teknologi yang canggih. Doktrin militer yang mengutamakan kualitas di atas kuantitas membuat NATO bukan lawan yang bisa dipandang sebelah mata. Meskipun Rusia memiliki pengalaman tempur di Ukraina, doktrin militer Rusia masih mengutamakan kuantitas di atas kualitas.

Kelima, dari segi pengalaman tempur, baik NATO maupun Rusia sama-sama pernah memiliki pengalaman tempur. Meskipun begitu, lagi-lagi doktrin militer lah yang membuat perbedaan antara keduanya. Rusia masih terpengaruh dan mengadopsi strategi tempur Uni Soviet. Rusia mengandalkan ribuan tentara dan mobilisasi massa untuk dikirim ke front terdepan. Sementara itu, NATO mengandalkan superioritas teknologi dalam strategi militernya.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa militer NATO jauh lebih unggul dari Rusia baik dari segi kuantitas maupun kualitas persenjataan. Tetapi perlu diingat bahwa Rusia adalah negara dengan senjata nuklir. Jumlah senjata nuklir Rusia juga yang paling banyak di dunia. Salah satu keuntungan Rusia dalam perang non-konvensional adalah senjata nuklir yang dimilikinya.

Pada intinya, Rusia memiliki kesiapan secara taktis dan pengalaman tempur. Tetapi itu semua tidak cukup untuk mengalahkan superioritas teknologi dan kapabilitas militer yang dimiliki oleh NATO. Rusia mungkin bisa terus mengirimkan ribuan orang ke front terdepan menghadapi lawan, tetapi jika lawan memiliki keunggulan baik secara kuantitas maupun kualitas, maka Rusia tidak akan mampu meraih kemenangan dengan mudah.

Tentara NATO bukanlah Al-Qaeda, Hezbollah, atau Hamas, tetapi tentara dengan kesiapan tempur yang wajib diwaspadai oleh setiap lawan. NATO senantiasa siap, Rusia harus waspada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

28-Poin Proposal Perdamaian Cenderung Lebih Menguntungkan Rusia

Oleh Dennis Ramadhan Sudah tiga tahun penuh sejak Rusia melancarkan invasi skala besar ke Ukraina. Darah terus mengalir, kota-kota menjadi reruntuhan, dan jutaan nyawa melayang. Semua orang—tanpa terkecuali—ingin perang ini berakhir secepat mungkin. Bahkan Winston Churchill pernah berkata, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang. Namun, berunding untuk maksud perdamaian bukan berarti menyerah dan tunduk pada tekanan pihak lawan. Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim bahwa dia bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina dalam waktu 24 jam saja. Kini, setelah berbulan-bulan pertemuan, termasuk pertemuan Trump-Putin di Alaska pada Agustus lalu, Donald Trump menyadari: menyelesaikan konflik ini jauh lebih sulit daripada sekadar omong kosong di panggung kampanye. Baru-baru ini, Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian yang disebut “Rencana Damai 28 Poin”. Pembuatan proposal perdamaian ini terinspirasi d...

Presiden Trump, Ini Jaminan Keamanan Terbaik Untuk Ukraina

                                         Oleh Dennis Ramadhan Perang Rusia dan Ukraina telah memasuki fase kritis di mana kedua belah pihak masih saling menyerang satu sama lain namun tidak mampu mengubah peta pertempuran secara signifikan. Perang yang berkelanjutan tanpa ada kemenangan yang pasti tentu akan menghabiskan banyak sumber daya dari kedua belah pihak, serta korban yang semakin bertambah baik itu tentara yang tewas atau masyarakat umum. Perang yang sangat mengerikan ini sudah seharusnya berakhir dan Eropa bahkan dunia sudah jenuh dengan peperangan ini. Kita setidaknya setuju dengan Presiden Donald Trump yang mengatakan bahwa perang Rusia dan Ukraina seharusnya tidak pernah terjadi. Jika perang ini terus berlanjut maka akan dikhawatirkan akan meningkatkan eskalasi yang berujung pada perang antara Rusia dan NATO. Hal itu merupakan sk...