Tidak, artikel ini tidak bermaksud menakut-nakuti Anda. Tidak juga bermaksud memberikan prediksi yang suram tentang masa depan dunia. Kita sangat membenci perang dan pertumpahan darah. Tulisan ini hanya bermaksud memberikan peringatan tentang betapa dunia yang kita tempati saat ini benar-benar berada dalam situasi “krisis” dan kita harus menyadarinya.
Terakhir kali situasi tegang yang membuat masyarakat dunia khawatir akan terjadinya Perang Dunia 3 adalah saat Perang Dingin. Periode tahun pasca-Perang Dunia 2 (1945) hingga runtuhnya Uni Soviet (1991) merupakan salah satu periode yang mencekam dan mengkhawatirkan banyak pihak. Uni Soviet dan Amerika membelah dunia menjadi dua kubu: kubu demokrasi dan kubu komunis. Situasi bipolar ini menyebabkan konfrontasi melalui perang proksi yang tak berkesudahan. Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Afghanistan, dan masih banyak lagi perang proksi yang terjadi di masa Perang Dingin. Dengan banyaknya perang proksi yang terjadi, masyarakat dunia merasa khawatir akan kemungkinan perang nuklir di masa depan.
Di masa Perang Dingin, setiap tahun di Amerika dan Eropa — baik orang dewasa hingga anak-anak — melaksanakan simulasi penyelamatan diri dari dampak ledakan nuklir di kota mereka. Latihan ini rutin dilakukan setiap tahun sehingga teror dan ketakutan akan dampak ledakan bom nuklir senantiasa hadir dalam kehidupan warga dunia saat itu.
Di tahun 1991, Uni Soviet menghilang untuk selamanya dan Perang Dingin berakhir. Ketakutan itu seolah sirna dari dada masyarakat dunia saat itu.
Namun di tahun 2020, dunia berada pada situasi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Munculnya pandemi Covid-19 memaksa masyarakat dunia hidup dalam situasi yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Pembatasan aktivitas dan kegiatan di luar rumah menjadi suatu keharusan, masyarakat dipaksa untuk tetap berada di rumah dan melakukan pekerjaan serta kegiatan penting lainnya dari dalam rumah. Selama dua tahun kita merasakan situasi yang cukup sulit. Setahun setelahnya (2022), perang paling besar di tanah Eropa terjadi untuk pertama kalinya sejak tahun 1945: Perang Rusia dan Ukraina.Rusia mungkin tidak sebesar dan sekuat Uni Soviet. Tetapi Rusia tetaplah negara yang memiliki persenjataan nuklir dan tentu tidak boleh dianggap enteng.
Lalu, mengapa situasi sekarang lebih berbahaya daripada Krisis Rudal Kuba tahun 1962? Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, pada saat itu tidak satupun tentara Soviet yang berperang dan mati di medan perang menghadapi negara-negara di Eropa. Meskipun Ukraina tidak masuk ke dalam aliansi NATO, tetapi tentara Ukraina secara langsung berhadapan dengan tentara Rusia, dan kita tahu bahwa ratusan ribu tentara Rusia telah tewas dalam peperangan tersebut. Coba bayangkan jika tentara Uni Soviet tewas saat menghadapi salah satu negara di Eropa saat itu. Di masa Perang Dingin, tentara Soviet hanya melakukan intervensi terhadap negara-negara satelitnya seperti Jerman Timur, Hungaria, dan Cekoslowakia. Tentara Soviet yang tewas hanya berkisar di angka 500–1.000 orang. Tentara Uni Soviet bukan berperang, tetapi hanya melakukan intervensi yang tidak melibatkan mobilisasi militer secara besar-besaran.
Saat ini, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina bukan merupakan intervensi biasa, melainkan perang skala penuh yang berlangsung selama lebih dari tiga tahun. Ratusan ribu tentara Rusia dan Ukraina telah tewas di medan perang.
Kedua, tidak satupun fasilitas Uni Soviet — baik itu pangkalan militer, fasilitas kilang minyak, atau pabrik amunisi — yang pernah dibom oleh negara manapun di dunia saat itu. Bandingkan dengan situasi saat ini, di mana drone-drone dan rudal balistik Ukraina selalu menargetkan pangkalan militer, fasilitas kilang minyak, dan pabrik amunisi di wilayah Rusia itu sendiri. Memang kedua belah pihak dalam situasi perang dan wajar jika Ukraina menyerang target militer yang sah di wilayah Rusia, tetapi kejadian ini tidak pernah terjadi di waktu apapun kecuali Perang Dunia 2.
Ketiga, perang Rusia dan Ukraina telah menjalar menjadi perang hybrid antara Rusia dan NATO. Aksi sabotase dan infiltrasi drone-drone Rusia ke wilayah NATO baru-baru ini meningkatkan eskalasi perang hybrid antara keduanya. Di masa Perang Dingin, Uni Soviet tidak pernah melakukan aksi sabotase dan infiltrasi dengan drone yang dilakukan secara masif oleh Rusia saat ini. Jika Rusia terus memprovokasi NATO dan melakukan aksi sabotase atau perang hybrid secara terus-menerus, maka tidak menutup kemungkinan perang hybrid ini akan meluas menjadi konfrontasi langsung antara NATO dan Rusia.
Selanjutnya beralih ke Timur Tengah. Israel dan Iran sudah terlibat dalam konfrontasi langsung di tahun 2024 dan 2025. Meskipun saat ini masih dalam situasi gencatan senjata, tidak menutup kemungkinan perang skala penuh antara keduanya akan terjadi di masa mendatang. Militer Israel dari berbagai sisi jauh lebih superior dibandingkan militer Iran. Maka tak heran, dalam perang 12 hari pada Juni lalu, Iran kesulitan dalam merespons serangan dari Israel. Pangkalan udara dan pesawat tempur Iran mengalami kerusakan yang signifikan, fasilitas nuklir Iran hancur, dan ratusan bahkan ribuan rudal balistik Iran musnah menjadi debu. Meskipun begitu, Iran tidak sepenuhnya mengerahkan semua aset militernya untuk melawan Israel.
Di masa depan, Iran mungkin akan lebih berani mengambil risiko untuk meningkatkan eskalasi militer. Penutupan Selat Hormuz dan militerisasi Teluk Persia akan mengakibatkan naiknya harga minyak bumi dunia. Iran akan memanfaatkan situasi ini untuk mengancam ekonomi dunia dengan memblokade ekspor minyak dari Timur Tengah dengan menutup Selat Hormuz. Jika Iran berani menutup Selat Hormuz, maka Amerika akan turun tangan mengatasi hal tersebut. Sebab harga minyak dunia akan meroket dan ekonomi dunia akan terancam jika hal tersebut terjadi. Maka perang dengan Iran tak dapat dihindari. Situasi ini akan berujung pada perang antara Amerika, Israel dengan Iran.
Merespons dihancurkannya Iran, Cina tentu tidak tinggal diam. Cina akan bergerak menginvasi Taiwan. Perang antara Cina dan Taiwan merupakan paku terakhir di peti mati. Konflik ini bukan hanya melibatkan Taiwan dan Cina semata, tetapi Amerika dan Jepang serta negara-negara di Asia Pasifik akan terjun langsung ke medan pertempuran. Hal ini dikarenakan konflik di Laut Cina Selatan melibatkan banyak aktor dan klaim atas kepemilikan wilayah laut di Laut Cina Selatan telah berujung pada eskalasi militer di antara negara-negara Asia Pasifik. Suka atau tidak suka, perang antara Cina dan Taiwan akan menyeret sekutu Amerika seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan untuk membantu Amerika menghadapi Cina.
Situasi geopolitik saat ini benar-benar tidak berpihak pada kedamaian, melainkan menuju kepada eskalasi perang skala besar bahkan perang dunia. Kedamaian tetap harus menjadi prioritas utama bagi kestabilan ekonomi dan kehidupan masyarakat dunia. Namun, keputusan akhir masa depan dunia bergantung pada sejauh mana para pemimpin dunia mampu meredam semua gejolak konflik dan perbedaan melalui jalan dialog dan diplomasi.
Kenyataan saat ini menunjukkan situasi mengarah kepada eskalasi perang besar yang tidak mungkin bisa dihentikan dengan dialog semata. Waktu terus berjalan, dunia mungkin harus siap menghadapi kenyataan pahit di masa depan.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar