Langsung ke konten utama

Pengerahan 100 Kapal Perang Cina di Laut Kuning: Sinyal Agresi Menuju Invasi Taiwan 2027?

Oleh Dennis Ramadhan Awal bulan Desember menandai akhir dari tahun 2025. Namun, situasi di Asia Pasifik, khususnya di Asia bagian timur, masih sangat panas. Baru-baru ini dikabarkan bahwa Cina mengerahkan sebanyak kurang lebih 100 kapal perang ke wilayah Laut Kuning, tepatnya di area Laut Cina Timur. Tidak diketahui secara pasti apa motivasi Cina melakukan hal tersebut, namun pengamat berspekulasi bahwa Cina ingin menunjukkan kepada dunia kekuatan maritimnya. Angkatan Laut Cina (PLAN) diketahui memiliki sekitar 370 aset militer laut, meliputi kapal perang, kapal selam, dan aset maritim lainnya. Jumlah aset maritim ini melampaui yang dimiliki oleh Angkatan Laut Amerika Serikat dari segi kuantitas kapal. Pengerahan sebanyak 100 kapal perang Cina ke Laut Kuning ini cukup mengkhawatirkan negara-negara di kawasan regional. Tokyo, Taipei, dan Washington terus memonitor keadaan di Laut Kuning serta meningkatkan kesiapsiagaan terkait ...

Langkah Cerdas Taiwan Hadapi Potensi Perang Dengan Cina

 Oleh Dennis Ramadhan

Ada satu fakta yang sangat menarik: Amerika Serikat merupakan negara demokrasi di benua Amerika, tetapi bertetangga dengan Kuba yang menganut sistem komunis. Ukuran wilayah Amerika Serikat jauh lebih besar dibandingkan Kuba. Di belahan bumi bagian timur, terdapat Republik Rakyat Cina yang juga komunis, tetapi bertetangga dengan Taiwan yang menerapkan sistem demokrasi. Ukuran wilayah Cina pun jauh lebih besar daripada Taiwan. Sungguh suatu kemiripan yang sangat menarik jika dikaji dari sudut pandang geopolitik.

Sejak mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, Cina selalu mengklaim bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya. Menariknya, Cina menegaskan kebijakan “Satu Cina” — bahwa hanya ada satu Cina di dunia, yaitu Republik Rakyat Cina — namun ironisnya, Cina tidak pernah benar-benar memerintah atau menguasai Taiwan secara langsung. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh atau tidak wajar; sejarah panjang antara keduanya telah menciptakan situasi seperti yang kita lihat saat ini. Sebelum tahun 1949, Cina daratan dan Taiwan (saat itu masih bagian dari Republik Cina) telah berulang kali terlibat perang saudara, hingga akhirnya rezim komunis memenangkan pertempuran dan rezim nasionalis melarikan diri ke pulau Taiwan.

Sampai saat ini, Cina tetap mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya meskipun tidak pernah menguasainya. Di sisi lain, Taiwan memandang dirinya sebagai negara berdaulat yang setara dengan negara-negara lain di dunia. Namun, sebagian besar negara di dunia — termasuk PBB — tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, melainkan sebagai bagian dari “satu Cina”. Meskipun demikian, kedaulatan de facto dan keutuhan wilayah Taiwan tetap dihormati di panggung internasional.

Sebagai wilayah yang berdaulat de facto, Taiwan memiliki hak penuh untuk mempertahankan kedaulatannya serta sistem demokrasinya. Seharusnya Cina, sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, menghormati realitas tersebut. Sayangnya, beberapa tahun belakangan ini Cina justru semakin sering melanggar kedaulatan Taiwan: jet tempur Cina berulang kali memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan di Selat Taiwan, tekanan diplomatik dan ekonomi terus meningkat, serta serangan siber terhadap institusi pemerintah Taiwan semakin sering dan masif setiap tahunnya.

Semua upaya tersebut bertujuan agar Taiwan mau melakukan reunifikasi dengan Cina daratan. Secara resmi, Cina menyatakan lebih mengutamakan reunifikasi secara damai, tetapi tidak pernah menutup opsi penggunaan kekuatan militer jika jalur damai gagal. Karena ancaman invasi itu nyata, wajar jika Taiwan terus meningkatkan kualitas alutsista dan kesiapan militernya agar Cina berpikir seribu kali sebelum melancarkan serangan.

Memang, kekuatan militer Cina jauh lebih superior dibandingkan Taiwan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun, menaklukkan Taiwan bukan perkara mudah karena keduanya dipisahkan oleh Selat Taiwan selebar sekitar 160 km. Satu-satunya cara bagi Cina untuk menguasai pulau itu adalah melalui operasi pendaratan amfibi berskala besar — operasi yang sangat berisiko dan mahal.

Menghadapi potensi invasi di masa depan, Taiwan tidak tinggal diam. Belakangan ini, Presiden Taiwan Lai Ching-te mengalokasikan anggaran pertahanan hingga sekitar 40 miliar dolar AS sebagai persiapan menghadapi ancaman invasi Cina yang sering disebut-sebut akan terjadi sekitar tahun 2027. Langkah ini sangat krusial. Dengan dana tersebut, Taiwan dapat memodernisasi persenjataannya, membeli alutsista canggih dari Amerika Serikat (seperti tank, artileri, dan sistem pertahanan udara), serta mengadopsi taktik perang asimetris yang terbukti berhasil digunakan Ukraina melawan Rusia.

Taiwan juga terus mengembangkan rudal anti-kapal andalannya, Hsiung Feng seri terbaru (HF-2E dan HF-3), yang mampu menghancurkan kapal-kapal perang dan kapal pengangkut pasukan Cina sebelum mereka mendekati pantai. Selain itu, Taiwan mengimpor senjata-senjata yang terbukti mematikan dalam perang asimetris: rudal anti-tank Javelin dan rudal anti-pesawat portabel Stinger — dua senjata yang sama yang membuat pasukan Rusia babak belur pada minggu-minggu awal invasi Ukraina.

Dukungan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat tetap menjadi faktor penentu. Tanpa keterlibatan langsung AS, banyak analis memperkirakan Taiwan hanya mampu bertahan 1–2 bulan. Oleh karena itu, jika invasi benar-benar terjadi, Amerika Serikat harus turun tangan — setidaknya dengan mendeklarasikan No-Fly Zone di atas Taiwan, mengerahkan kekuatan udara dan kapal induknya, serta memanfaatkan kapal selam kelas Ohio yang membawa ratusan rudal Tomahawk untuk menghancurkan armada invasi Cina dari jarak jauh.

Namun, sebesar apa pun dukungan Amerika, pada akhirnya kesiapan mempertahankan kedaulatan kembali kepada rakyat dan pemerintah Taiwan sendiri. Presiden Lai Ching-te sejauh ini telah mengambil langkah-langkah yang tepat dalam memperkuat pertahanan nasional, tetapi yang tidak kalah penting adalah mempersiapkan seluruh masyarakat Taiwan — baik secara mental maupun material — untuk menghadapi tantangan geopolitik terbesar yang mungkin datang dalam waktu dekat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Dingin 2.0 : Menakar Kekuatan Militer Rusia vs NATO

Oleh Dennis Ramadhan Presiden Rusia Vladimir Putin akhir-akhir ini mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan: Rusia siap berperang dan mengalahkan Eropa! Pernyataan ini disampaikannya di tengah proses negosiasi perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina yang sedang berlangsung. Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Perang ini menyebabkan ketegangan antara Rusia dan NATO menjadi semakin besar dan dikhawatirkan akan memicu konfrontasi langsung antara keduanya. Meskipun NATO tidak ikut terlibat secara langsung dalam perang Rusia-Ukraina, NATO sangat aktif mengirimkan bantuan militer ke Ukraina. Pernyataan Presiden Putin ini bukan tanpa alasan. Selama beberapa tahun belakangan, Rusia selalu melakukan latihan militer Zapad. Tahun 2025 ini, Rusia dan Belarus melakukan latihan militer gabungan Zapad-2025. Latihan Zapad-2025 melibatkan lebih dari 100.000 personel militer dari kedua negara....

28-Poin Proposal Perdamaian Cenderung Lebih Menguntungkan Rusia

Oleh Dennis Ramadhan Sudah tiga tahun penuh sejak Rusia melancarkan invasi skala besar ke Ukraina. Darah terus mengalir, kota-kota menjadi reruntuhan, dan jutaan nyawa melayang. Semua orang—tanpa terkecuali—ingin perang ini berakhir secepat mungkin. Bahkan Winston Churchill pernah berkata, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang. Namun, berunding untuk maksud perdamaian bukan berarti menyerah dan tunduk pada tekanan pihak lawan. Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim bahwa dia bisa menghentikan perang Rusia-Ukraina dalam waktu 24 jam saja. Kini, setelah berbulan-bulan pertemuan, termasuk pertemuan Trump-Putin di Alaska pada Agustus lalu, Donald Trump menyadari: menyelesaikan konflik ini jauh lebih sulit daripada sekadar omong kosong di panggung kampanye. Baru-baru ini, Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian yang disebut “Rencana Damai 28 Poin”. Pembuatan proposal perdamaian ini terinspirasi d...

Perang Dunia 3 Sudah di Depan Mata : Lebih Dekat Daripada Krisis Kuba 1962

Oleh Dennis Ramadhan Tidak, artikel ini tidak bermaksud menakut-nakuti Anda. Tidak juga bermaksud memberikan prediksi yang suram tentang masa depan dunia. Kita sangat membenci perang dan pertumpahan darah. Tulisan ini hanya bermaksud memberikan peringatan tentang betapa dunia yang kita tempati saat ini benar-benar berada dalam situasi “krisis” dan kita harus menyadarinya. Terakhir kali situasi tegang yang membuat masyarakat dunia khawatir akan terjadinya Perang Dunia 3 adalah saat Perang Dingin. Periode tahun pasca-Perang Dunia 2 (1945) hingga runtuhnya Uni Soviet (1991) merupakan salah satu periode yang mencekam dan mengkhawatirkan banyak pihak. Uni Soviet dan Amerika membelah dunia menjadi dua kubu: kubu demokrasi dan kubu komunis. Situasi bipolar ini menyebabkan konfrontasi melalui perang proksi yang tak berkesudahan. Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Afghanistan, dan masih banyak lagi perang proksi yang terjadi di masa Perang Din...