Ada satu fakta yang sangat menarik: Amerika Serikat merupakan negara demokrasi di benua Amerika, tetapi bertetangga dengan Kuba yang menganut sistem komunis. Ukuran wilayah Amerika Serikat jauh lebih besar dibandingkan Kuba. Di belahan bumi bagian timur, terdapat Republik Rakyat Cina yang juga komunis, tetapi bertetangga dengan Taiwan yang menerapkan sistem demokrasi. Ukuran wilayah Cina pun jauh lebih besar daripada Taiwan. Sungguh suatu kemiripan yang sangat menarik jika dikaji dari sudut pandang geopolitik.
Sejak mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, Cina selalu mengklaim bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya. Menariknya, Cina menegaskan kebijakan “Satu Cina” — bahwa hanya ada satu Cina di dunia, yaitu Republik Rakyat Cina — namun ironisnya, Cina tidak pernah benar-benar memerintah atau menguasai Taiwan secara langsung. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh atau tidak wajar; sejarah panjang antara keduanya telah menciptakan situasi seperti yang kita lihat saat ini. Sebelum tahun 1949, Cina daratan dan Taiwan (saat itu masih bagian dari Republik Cina) telah berulang kali terlibat perang saudara, hingga akhirnya rezim komunis memenangkan pertempuran dan rezim nasionalis melarikan diri ke pulau Taiwan.
Sampai saat ini, Cina tetap mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya meskipun tidak pernah menguasainya. Di sisi lain, Taiwan memandang dirinya sebagai negara berdaulat yang setara dengan negara-negara lain di dunia. Namun, sebagian besar negara di dunia — termasuk PBB — tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, melainkan sebagai bagian dari “satu Cina”. Meskipun demikian, kedaulatan de facto dan keutuhan wilayah Taiwan tetap dihormati di panggung internasional.
Sebagai wilayah yang berdaulat de facto, Taiwan memiliki hak penuh untuk mempertahankan kedaulatannya serta sistem demokrasinya. Seharusnya Cina, sebagai kekuatan ekonomi baru dunia, menghormati realitas tersebut. Sayangnya, beberapa tahun belakangan ini Cina justru semakin sering melanggar kedaulatan Taiwan: jet tempur Cina berulang kali memasuki Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan di Selat Taiwan, tekanan diplomatik dan ekonomi terus meningkat, serta serangan siber terhadap institusi pemerintah Taiwan semakin sering dan masif setiap tahunnya.
Semua upaya tersebut bertujuan agar Taiwan mau melakukan reunifikasi dengan Cina daratan. Secara resmi, Cina menyatakan lebih mengutamakan reunifikasi secara damai, tetapi tidak pernah menutup opsi penggunaan kekuatan militer jika jalur damai gagal. Karena ancaman invasi itu nyata, wajar jika Taiwan terus meningkatkan kualitas alutsista dan kesiapan militernya agar Cina berpikir seribu kali sebelum melancarkan serangan.
Memang, kekuatan militer Cina jauh lebih superior dibandingkan Taiwan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun, menaklukkan Taiwan bukan perkara mudah karena keduanya dipisahkan oleh Selat Taiwan selebar sekitar 160 km. Satu-satunya cara bagi Cina untuk menguasai pulau itu adalah melalui operasi pendaratan amfibi berskala besar — operasi yang sangat berisiko dan mahal.
Menghadapi potensi invasi di masa depan, Taiwan tidak tinggal diam. Belakangan ini, Presiden Taiwan Lai Ching-te mengalokasikan anggaran pertahanan hingga sekitar 40 miliar dolar AS sebagai persiapan menghadapi ancaman invasi Cina yang sering disebut-sebut akan terjadi sekitar tahun 2027. Langkah ini sangat krusial. Dengan dana tersebut, Taiwan dapat memodernisasi persenjataannya, membeli alutsista canggih dari Amerika Serikat (seperti tank, artileri, dan sistem pertahanan udara), serta mengadopsi taktik perang asimetris yang terbukti berhasil digunakan Ukraina melawan Rusia.
Taiwan juga terus mengembangkan rudal anti-kapal andalannya, Hsiung Feng seri terbaru (HF-2E dan HF-3), yang mampu menghancurkan kapal-kapal perang dan kapal pengangkut pasukan Cina sebelum mereka mendekati pantai. Selain itu, Taiwan mengimpor senjata-senjata yang terbukti mematikan dalam perang asimetris: rudal anti-tank Javelin dan rudal anti-pesawat portabel Stinger — dua senjata yang sama yang membuat pasukan Rusia babak belur pada minggu-minggu awal invasi Ukraina.
Dukungan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat tetap menjadi faktor penentu. Tanpa keterlibatan langsung AS, banyak analis memperkirakan Taiwan hanya mampu bertahan 1–2 bulan. Oleh karena itu, jika invasi benar-benar terjadi, Amerika Serikat harus turun tangan — setidaknya dengan mendeklarasikan No-Fly Zone di atas Taiwan, mengerahkan kekuatan udara dan kapal induknya, serta memanfaatkan kapal selam kelas Ohio yang membawa ratusan rudal Tomahawk untuk menghancurkan armada invasi Cina dari jarak jauh.
Namun, sebesar apa pun dukungan Amerika, pada akhirnya kesiapan mempertahankan kedaulatan kembali kepada rakyat dan pemerintah Taiwan sendiri. Presiden Lai Ching-te sejauh ini telah mengambil langkah-langkah yang tepat dalam memperkuat pertahanan nasional, tetapi yang tidak kalah penting adalah mempersiapkan seluruh masyarakat Taiwan — baik secara mental maupun material — untuk menghadapi tantangan geopolitik terbesar yang mungkin datang dalam waktu dekat.

Komentar
Posting Komentar